Alternative weekend di pelosok Toraja Barat ( Masanda)
Kalau miliser di jakarta weekendnya ke Puncak Anyer atau Bandung, yang di Surabaya ke Malang, Batu, Tretes, di Toraja juga sebenarnya banyak tempat yang bisa dikunjungi selain obyek yang sudah lazim seperti Londa, Ke’te’ Kesu’, Makula’ dan sebagainya. Salah satu yang menarik adalah berwisata arung jeram di sungai Mai’ting dari Dende’ ke Tapparan yang di operatori Arus Liar yang sudah berpengalaman internasional yang menurut saya jauh lebih menarik, dari segi panorama, kesejukan dan lebih beragam flora dan fauna yang ditemui dibanding yang di citarik, citatah sukabumi atau yang di Probolinggo Jatim. Kalo yang di Bali belum tau karena belum pernah. Kalau ada miliser yang pulang kampung dan ingin mencoba bisa dengan tarif wisatawan lokal lebih murah dari tarif tourist manca negara.
Namun yang saya akan ceritakan disini adalah pengalaman alternative weekend saya ke salah satu daerah terpencil di Toraja yaitu kecamatan Masanda yang berbatasan langsung Kecamatan Tabang Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat. Sekedar info Daerah pelosok lainnya si Toraja adalah Simbuang Mappak , Baruppu’, Sapan Pulu’-Pulu’, Awan, Uluway Mengkendek , Bongga Karadeng, Karonanga di Sa’dan Ulusalu atau masih ada lagi silahkan ditambahkan..yang bisa jadi pilihan untuk wisata Offroad, Trekking, Hiking, Mountain Bike, atau untuk misi Pelayanan.
Sabtu 4 Agustus Kemarin Jam 1 siang kami berangkat dari Rantepao berdua dengan seorang kawan Pdt Wahyu Parrangan naik motor dengan cuaca mendung mengambil rute ke Makale karena saat ini Poros Madandan Rantetayo sedang rusak berat. Dari Makale terus ke Rembon, Ulusalu , sampai di Parodo pukul 14.30 ( konon jalan di daerah ini sebelumnya tanjakan dan rusak berat sehingga kalo naik kendaraan serasa digoyang= dirodo, makanya dinamai Parodo) hujan deras mengguyur kami berteduh di warung yang memang sering menjadi tempat persinggahan menikmati kopi asli robusta dan ragam kuliner seperti Sokko’ Pipi’ lengkap dengan sambalnya, Baje’ Parodo yang seperti Baje’ Paredean tetapi dikemas lebih kecil dan menu ayam goreng kampung lengkap dengan sop panasnya sungguh nikmat di tengah hujan dan ditimpahi suara air sungai bittuang didepan warung, jauh berbeda dari makanan siap saji atau food court di mall;-)
Sambil menunggu hujan reda kami ngobrol dengan Herman penduduk Belau yang berprofesi sebagai tenaga penyuluh peternakan yang punya keahlian mengawinkan kerbau yang walaupun salah satunya atau bahkan jantan dan betina bukan kerbau belang kemungkinan dari beberapa anaknya bisa jadi tanda( bonga/ belang) tanpa bisa dijelaskan secara ilmiah faktor apa yang berperan. Namun memang sudah terbukti kebanyakan kerbau belang di Tana Toraja berasal dari Toraja Barat.
Pukul 15.30 kami kembali melanjutkan perjalanan ke Se’seng terus ke Bittuang dengan kondisi jalan aspal sudah hampir sampai di Bittuang yang beriklim dingin dan berangin, suasana tempat ini seperti di kota Pangngala’ dan dari sini juga kearah kanan ke daerah Awan ke perkebunan besar Kopi Sulatco ( katanya dulu milik keluarga cendana). Kalo kita mau naik ke gunung Bromo biasanya kita menyaksikan banyaknya kendaraan Landcruiser hardtop untuk bisa menyaksikan sunrise di Penanjakan. Begitupun di Bittuang begitu banyak Toyota hardtop yang adalah transportasi satu-satunya di kecamatan Masanda mengangkut hasil kopi setelah hilangnya transportasi kuda ( tengnge’)
Kami mengambil jalan lurus kearah Pali’ jalanan sudah mulai dikeraskan dari Pali ini jalan bercabang dua yang ke kiri kearah Bau, Ratte, Rembo’- Rembo’ sedangkankan lurus kearah Belau, Pondingao’, Pawwan sampai ke jembatan sungai Massuppu’ perbatasan Sulawesi Barat yang sudahada masterplannya akan dibuat Jalan Provinsi yang akan jadi jalur utama dari Palu, Kalimantan melalui Mamuju.
Selepas Pali jalanan sudah sangat parah seperti jalan-jalan proyek di pedalaman Kalimantan apalagi hari itu habis hujan, dari Pali ke arah Puncak sangat terjal tanjakannya dan karena tanahnya tanah merah jadi sangat licin dan berlumpur dalam, kata kawan saya yang dibutuhkan disini harus pintar jatuh!!, kami beberapa kali parkir motor untuk survey jalanan di depan jangan sampai sudah jalan dan jalannya terpotong tidak ada sambungannya lagi yang memaksa kita untuk mengangkat motor , namun dari sini sudah sangat sejuk karena disisi jalanan dipenuhi Pohon pinus dan pemandangan yang indah sejauh mata memandang ke lembah dan bukit sekitar.
Pukul 18.00 kami sampai ke dusun Puncak dan singgah di rumah penduduk yang sangat antusias dan sukacita menerima buku-buku renungan harian bekas dan buku cerita anak-anak titipan dari kota, kemudian kami meneruskan perjalanan di kegelapan hanya dengan penerangan lampu motor, kondisi jalanan disini seperti sungai yang kering berisi batu-batu kali yang mudah lepas sehingga motor dipastikan akan selalu kandas . Sedangan listrik terbatas yang masuk ke rumah penduduk berasal dari Turbin Lokal swadaya masyarakat dan Turbin bantuan JICA Jepang. Kami akhirnya sampai di Lembang Belau pukul 19.30 dengan kondisi 3 lapis baju dan Jaket Pak Pendeta basah kuyup dengan keringat, dan langsung ikut kumpulan untuk perencanaan pemberkatan warga jemaat dan malamnya kami nginap di salah satu rumah penduduk tempat Pak Pdt meyimpan baju hitam kebesaran Pendeta dan buku liturgi khusus untuk sakramen2 khusus.
Mata pencarian utama masyarakat Masanda adalah bertani kopi, coklat , selain itu yang cocok ditanam adalah buah Markisa dan Terung Belanda( Tamarilla), Labu, akan tetapi pemasarannya masih sulit selain karena infrastrukur jalan yang masih belum ada, alangkah indahnya apabila suatu saat dibuat agrowisata seperti di Batu Malang. Hal lain yang sangat sulit di daerah ini adalah pelayanan kesehatan, Puskesmas hanya ada di Bittuang dan Pustu yang baru diremikan Bupati di Ratte, sedangkan transportasi mobil hadrtop dari Pondingao’ ke Bittuang bisa sampai Rp 100.000. Saya sempat berbincang sengan seorang Ibu yang mempunyai bayi berumur 1 bulan tetapi belum dimunisasi karena tidak ada petugas medis disana.
Paginya saya ikut Pak Pdt Wahyu yang juga ketua klasis Masanda dengan motor yang adalah sumbangan dari salah satu anggota milis toraya ini kembali ke Jemaat Kalvari Puncak karena ada pelantikan majelis Gereja sekalian Pemberkatan Nikah dari jemaat tetangganya berhubung Pak Pdt hanya seorang diri melayani 8 Jemaat , sekitar 700 KK yang jarak tiap gereja hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, sedangkan begitu banyak pelayanan sakramen pemberkatan nikah, babtis, sidi dll .
Untuk efisiensi waktu biasanya pemberkatan nikah langsung diadakan di rumah warga jemaat karena akan mengambil waktu apabila masih harus jalan ke gereja lagi, selalu dibutuhkan penyesuaian-penyesuain dan kreatifitas di dalam pelayanan daerah terpencil
.
Di Jemaat Kalvari Puncak yang baru mandiri ini ada 50 KK dan dalam gedung geraja hanya ada 9 bangku tua sederhana ala kadarnya yang tidak bisa menampung warga Jemaat dan lagi saya perhatikan Kitab Suci masih jadi barang yang sangat langka yang hanya dimiliki kurang dari 5 orang warga Jemaat juga kidung jemaat lebih kurang lagi. Setelah Ibadah diadakan resepsi sederhana dengan menu Pa’piong Ayam Burak yang dilanjutkan rapat pertama BPM yang baru secara lesehan dirumah seorang Majelis disamping Gereja.
Pendeta disini bukan hanya pelayan kerohanian tetapi juga mengusahakan kesejahteraan jemaatnya dengan membentuk kelompok tani sehingga saat ini sawah sudah bisa di garap 2 kali setahun dan mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih kreatif dan maju mengejar ketertinggalan.
Setelah pamitan pukul 14.00 siang kami naik motor kembali dan tiba pukul 18.30 di Rantepao dan mengakhiri alternative weekend di Masanda yang memberikan kesan yang mendalam seperti ketimpangan pembangunan, kesederhanaan, ketulusan membantu, persaudaraan yang kental dari masyarakat yang baru dikenal, great view panorama tondokta dan istirahat yang nyenyak dengan iklim yang sejuk tidak kalah dari hotel berbintang( mungkin karena capek diperjalanan) dan pelayanan tulus oleh orang-orang tertentu yang kadangkala mendapat sedikit honor dan kadang- kadang tidak.. namun selalu dilingkupi sukacita dan jauh dari stress!
Yaya’ R
Kalau miliser di jakarta weekendnya ke Puncak Anyer atau Bandung, yang di Surabaya ke Malang, Batu, Tretes, di Toraja juga sebenarnya banyak tempat yang bisa dikunjungi selain obyek yang sudah lazim seperti Londa, Ke’te’ Kesu’, Makula’ dan sebagainya. Salah satu yang menarik adalah berwisata arung jeram di sungai Mai’ting dari Dende’ ke Tapparan yang di operatori Arus Liar yang sudah berpengalaman internasional yang menurut saya jauh lebih menarik, dari segi panorama, kesejukan dan lebih beragam flora dan fauna yang ditemui dibanding yang di citarik, citatah sukabumi atau yang di Probolinggo Jatim. Kalo yang di Bali belum tau karena belum pernah. Kalau ada miliser yang pulang kampung dan ingin mencoba bisa dengan tarif wisatawan lokal lebih murah dari tarif tourist manca negara.
Namun yang saya akan ceritakan disini adalah pengalaman alternative weekend saya ke salah satu daerah terpencil di Toraja yaitu kecamatan Masanda yang berbatasan langsung Kecamatan Tabang Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat. Sekedar info Daerah pelosok lainnya si Toraja adalah Simbuang Mappak , Baruppu’, Sapan Pulu’-Pulu’, Awan, Uluway Mengkendek , Bongga Karadeng, Karonanga di Sa’dan Ulusalu atau masih ada lagi silahkan ditambahkan..yang bisa jadi pilihan untuk wisata Offroad, Trekking, Hiking, Mountain Bike, atau untuk misi Pelayanan.
Sabtu 4 Agustus Kemarin Jam 1 siang kami berangkat dari Rantepao berdua dengan seorang kawan Pdt Wahyu Parrangan naik motor dengan cuaca mendung mengambil rute ke Makale karena saat ini Poros Madandan Rantetayo sedang rusak berat. Dari Makale terus ke Rembon, Ulusalu , sampai di Parodo pukul 14.30 ( konon jalan di daerah ini sebelumnya tanjakan dan rusak berat sehingga kalo naik kendaraan serasa digoyang= dirodo, makanya dinamai Parodo) hujan deras mengguyur kami berteduh di warung yang memang sering menjadi tempat persinggahan menikmati kopi asli robusta dan ragam kuliner seperti Sokko’ Pipi’ lengkap dengan sambalnya, Baje’ Parodo yang seperti Baje’ Paredean tetapi dikemas lebih kecil dan menu ayam goreng kampung lengkap dengan sop panasnya sungguh nikmat di tengah hujan dan ditimpahi suara air sungai bittuang didepan warung, jauh berbeda dari makanan siap saji atau food court di mall;-)
Sambil menunggu hujan reda kami ngobrol dengan Herman penduduk Belau yang berprofesi sebagai tenaga penyuluh peternakan yang punya keahlian mengawinkan kerbau yang walaupun salah satunya atau bahkan jantan dan betina bukan kerbau belang kemungkinan dari beberapa anaknya bisa jadi tanda( bonga/ belang) tanpa bisa dijelaskan secara ilmiah faktor apa yang berperan. Namun memang sudah terbukti kebanyakan kerbau belang di Tana Toraja berasal dari Toraja Barat.
Pukul 15.30 kami kembali melanjutkan perjalanan ke Se’seng terus ke Bittuang dengan kondisi jalan aspal sudah hampir sampai di Bittuang yang beriklim dingin dan berangin, suasana tempat ini seperti di kota Pangngala’ dan dari sini juga kearah kanan ke daerah Awan ke perkebunan besar Kopi Sulatco ( katanya dulu milik keluarga cendana). Kalo kita mau naik ke gunung Bromo biasanya kita menyaksikan banyaknya kendaraan Landcruiser hardtop untuk bisa menyaksikan sunrise di Penanjakan. Begitupun di Bittuang begitu banyak Toyota hardtop yang adalah transportasi satu-satunya di kecamatan Masanda mengangkut hasil kopi setelah hilangnya transportasi kuda ( tengnge’)
Kami mengambil jalan lurus kearah Pali’ jalanan sudah mulai dikeraskan dari Pali ini jalan bercabang dua yang ke kiri kearah Bau, Ratte, Rembo’- Rembo’ sedangkankan lurus kearah Belau, Pondingao’, Pawwan sampai ke jembatan sungai Massuppu’ perbatasan Sulawesi Barat yang sudahada masterplannya akan dibuat Jalan Provinsi yang akan jadi jalur utama dari Palu, Kalimantan melalui Mamuju.
Selepas Pali jalanan sudah sangat parah seperti jalan-jalan proyek di pedalaman Kalimantan apalagi hari itu habis hujan, dari Pali ke arah Puncak sangat terjal tanjakannya dan karena tanahnya tanah merah jadi sangat licin dan berlumpur dalam, kata kawan saya yang dibutuhkan disini harus pintar jatuh!!, kami beberapa kali parkir motor untuk survey jalanan di depan jangan sampai sudah jalan dan jalannya terpotong tidak ada sambungannya lagi yang memaksa kita untuk mengangkat motor , namun dari sini sudah sangat sejuk karena disisi jalanan dipenuhi Pohon pinus dan pemandangan yang indah sejauh mata memandang ke lembah dan bukit sekitar.
Pukul 18.00 kami sampai ke dusun Puncak dan singgah di rumah penduduk yang sangat antusias dan sukacita menerima buku-buku renungan harian bekas dan buku cerita anak-anak titipan dari kota, kemudian kami meneruskan perjalanan di kegelapan hanya dengan penerangan lampu motor, kondisi jalanan disini seperti sungai yang kering berisi batu-batu kali yang mudah lepas sehingga motor dipastikan akan selalu kandas . Sedangan listrik terbatas yang masuk ke rumah penduduk berasal dari Turbin Lokal swadaya masyarakat dan Turbin bantuan JICA Jepang. Kami akhirnya sampai di Lembang Belau pukul 19.30 dengan kondisi 3 lapis baju dan Jaket Pak Pendeta basah kuyup dengan keringat, dan langsung ikut kumpulan untuk perencanaan pemberkatan warga jemaat dan malamnya kami nginap di salah satu rumah penduduk tempat Pak Pdt meyimpan baju hitam kebesaran Pendeta dan buku liturgi khusus untuk sakramen2 khusus.
Mata pencarian utama masyarakat Masanda adalah bertani kopi, coklat , selain itu yang cocok ditanam adalah buah Markisa dan Terung Belanda( Tamarilla), Labu, akan tetapi pemasarannya masih sulit selain karena infrastrukur jalan yang masih belum ada, alangkah indahnya apabila suatu saat dibuat agrowisata seperti di Batu Malang. Hal lain yang sangat sulit di daerah ini adalah pelayanan kesehatan, Puskesmas hanya ada di Bittuang dan Pustu yang baru diremikan Bupati di Ratte, sedangkan transportasi mobil hadrtop dari Pondingao’ ke Bittuang bisa sampai Rp 100.000. Saya sempat berbincang sengan seorang Ibu yang mempunyai bayi berumur 1 bulan tetapi belum dimunisasi karena tidak ada petugas medis disana.
Paginya saya ikut Pak Pdt Wahyu yang juga ketua klasis Masanda dengan motor yang adalah sumbangan dari salah satu anggota milis toraya ini kembali ke Jemaat Kalvari Puncak karena ada pelantikan majelis Gereja sekalian Pemberkatan Nikah dari jemaat tetangganya berhubung Pak Pdt hanya seorang diri melayani 8 Jemaat , sekitar 700 KK yang jarak tiap gereja hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki, sedangkan begitu banyak pelayanan sakramen pemberkatan nikah, babtis, sidi dll .
Untuk efisiensi waktu biasanya pemberkatan nikah langsung diadakan di rumah warga jemaat karena akan mengambil waktu apabila masih harus jalan ke gereja lagi, selalu dibutuhkan penyesuaian-penyesuain dan kreatifitas di dalam pelayanan daerah terpencil
.
Di Jemaat Kalvari Puncak yang baru mandiri ini ada 50 KK dan dalam gedung geraja hanya ada 9 bangku tua sederhana ala kadarnya yang tidak bisa menampung warga Jemaat dan lagi saya perhatikan Kitab Suci masih jadi barang yang sangat langka yang hanya dimiliki kurang dari 5 orang warga Jemaat juga kidung jemaat lebih kurang lagi. Setelah Ibadah diadakan resepsi sederhana dengan menu Pa’piong Ayam Burak yang dilanjutkan rapat pertama BPM yang baru secara lesehan dirumah seorang Majelis disamping Gereja.
Pendeta disini bukan hanya pelayan kerohanian tetapi juga mengusahakan kesejahteraan jemaatnya dengan membentuk kelompok tani sehingga saat ini sawah sudah bisa di garap 2 kali setahun dan mengubah pola pikir masyarakat untuk lebih kreatif dan maju mengejar ketertinggalan.
Setelah pamitan pukul 14.00 siang kami naik motor kembali dan tiba pukul 18.30 di Rantepao dan mengakhiri alternative weekend di Masanda yang memberikan kesan yang mendalam seperti ketimpangan pembangunan, kesederhanaan, ketulusan membantu, persaudaraan yang kental dari masyarakat yang baru dikenal, great view panorama tondokta dan istirahat yang nyenyak dengan iklim yang sejuk tidak kalah dari hotel berbintang( mungkin karena capek diperjalanan) dan pelayanan tulus oleh orang-orang tertentu yang kadangkala mendapat sedikit honor dan kadang- kadang tidak.. namun selalu dilingkupi sukacita dan jauh dari stress!
Yaya’ R
Upahmu besar di sorga nak... :p
ReplyDeletethanks so much sdh mau bagi2 ceritanya! :)
ReplyDeletesalam hangat,
ato'
hmmm...alternatif liburan kalo mudik. thx 4 sharing, ntar kalo pulkam ajak² ya ;)
ReplyDeleteYour blog keeps getting better and better! Your older articles are not as good as newer ones you have a lot more creativity and originality now keep it up!
ReplyDelete